Berbagi Muhammadiyah Lewat Biopic
3 Juli 2010
, Posted by Media Berita Terkini at 23.52
Dalam sehari, dua batang pohon besar berdiri menjulang, mengapit gerbang Masjid Agung Kauman, Yogyakarta. Di sisi utara, andong-andong dilucuti, lalu disulap menjadi sado dan gerobak yang tampak lebih kuno. Sedangkan di lorong-lorong sempit di Kampung Kauman di sisi barat masjid itu penuh kamera, peralatan produksi film, dan orang-orang yang lalu lalang. Pada hari itu, sebuah TK diliburkan.
Itulah bagian set dan kesibukan kru syuting hari ketiga produksi film biografi pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, pertengahan bulan lalu. Film yang mengambil judul Sang Pencerah itu digarap sutradara peraih Piala Citra, Hanung Bramantyo, di Yogyakarta. Rencananya, syuting berlangsung 35 hari di Kauman dan Kotagede (Yogyakarta), juga di Ambarawa, Bogor, dan Jakarta.
Membuat film biografi Ahmad Dahlan adalah pilihan personal Hanung. "Ini keinginan saya sendiri. Lalu saya tawarkan kepada rumah produksi," kata Hanung, yang juga berperan sebagai penulis skenario film ini. Gayung bersambut, Multivision Picture (MVP) menyatakan bersedia memproduksi film tersebut.
Produksi film ini menghabiskan ongkos sekitar Rp 24 milyar. Sebagian besar, menurut Hanung, dialokasikan untuk membangun set era KH Ahmad Dahlan. Wilayah Kauman, misalnya, dipilih agar seotentik mungkin dengan setting kisah asli. Beberapa arsitektur bangunan hingga interior rumah diambil sebagai bagian penting setting film ini. "Di Kauman untuk bagian Ahmad Dahlan kecil sampai menikah," tutur Hanung.
Namun, "Saya nggak yakin, apa bangunan yang saya pakai (di film) adalah bangunan pada waktu itu. Sudah 100 tahun pasti renovasi berkali-kali," katanya sembari melanjutkan, "Kita tidak punya studio seperti Hollywood. Sehingga untuk bikin bangunan dan set bisa mencapai dua-tiga kali (lipat) dari bujet yang telah ditetapkan."
Meski tidak sempat jadi tren, film biografi atau biographical picture (biopic) selalu terselip di masa-masa produksi film Indonesia mulai ramai. Misalnya ada film Kartini (1984, Syumanjaja) dan Tjoet Nya' Dhien (1988, Eros Djarot), Marsinah (2001, Slamet Rahardjo), Gie (2005, Riri Riza), serta beberapa lainnya.
Pada tahun ini, produksi biopic kembali menggeliat. Selain Hanung yang tengah menggarap film tentang KH Ahmad Dahlan, ada Damien Dematra yang telah merampungkan produksi film Obama Anak Menteng. Damien juga sedang menggarap trilogi biopic Ahmad Syafii Maarif, Si Anak Kampoeng.
Tahun ini juga, Mira Lesmana berancang-ancang memproduksi biopic tentang sang ayah, Jack Lesmana. Tidak ketinggalan Garin Nugroho yang tengah memulai riset untuk persiapan produksi biopic Soegijapranata, uskup Katolik pribumi pertama di Indonesia.
Proses riset yang panjang dan tidak adanya studio besar untuk mendirikan dan menghadirkan setting masa lalu menjadi dua di antara sekian banyak penyebab mahalnya ongkos produksi biopic di Indonesia. Setidaknya jika dibandingkan dengan ongkos pembuatan film komedi seks dan horor yang diproduksi secara "borongan".
Garin Nugroho mengatakan, untuk membuat film biografi yang bagus, diperlukan data yang kuat. Tidak hanya bersumber pada data sejarah formal, melainkan juga data informal. "Kalau di luar negeri, misalnya mau bikin film tentang Bavaria abad XIII, saya tinggal datang ke museum, lalu lihat taplak mejanya pada waktu itu seperti apa. Gampang," katanya.
Tradisi pencatatan sejarah informal di Indonesia masih lemah. "Misalnya Pangeran Diponegoro: baju tidurnya seperti apa, sulit kita temukan informasinya," papar Garin. Itu sebabnya, pembesut film bergaya musikal Generasi Biru ini meyakini bahwa tradisi membuat biopic di Indonesia masih langka. "Belum ada film biografi di Indonesia yang menarik," ujarnya.
Garin tidak menyangkal bahwa beberapa biopic yang pernah dibuat sutradara Indonesia berusaha mengemukakan visi ketokohan dan sejarah. Tapi, untuk memilih tokoh, potensi visioner itu masih sangat dipengaruhi pertimbangan pasar. "Kalau temanya agama, biasanya laku," kata Garin.
Hanung mengelak untuk memaparkan bentuk kerja sama "komersial"-nya dengan Muhammadiyah dalam mengemas biopic Ahmad Dahlan. Namun ia tidak menolak kenyataan bahwa puluhan juta warga ormas berlambang matahari itu adalah aset penonton potensial. "Publikasi yang bagus adalah dengan dukungan Muhammadiyah," katanya.
Dukungan itu tampak pada pernyataan Din Syamsuddin ketika kru bertandang ke markas Muhammadiyah di Yogyakarta, pertengahan Mei lalu. Dalam kesempatan itu, Din berharap, film itu bisa ikut membawa perubahan bagi umat Islam. Selain itu, Sang Pencerah rencananya premiere pada awal Juli nanti, bersamaan dengan berlangsungnya muktamar ke-46 dan peringatan satu abad Muhammadiyah. Untuk umum, film itu dipersiapkan untuk dirilis pada liburan Idul Fitri tahun ini.
Demikian pula dengan Damien Dematra. Proyek biopic berjudul Si Anak Kampung sengaja dirancang untuk memperingati 100 tahun Muhammadiyah. Namun, pada mutakmar ke-46 nanti, ia baru bisa memutar trailer trilogi tentang Buya Syafii Maarif. Karena berbagai kendala, proses pengerjaan film yang ia produksi sendiri itu baru mencapai 10%.
Menurut Damien, beberapa rumah produksi telah menyatakan ketertarikannya untuk mengambil alih produksi trilogi biopic Ahmad Syafii Maarif yang sedang ia garap. Namun proses kerja samanya belum terlaksana lantaran ada syarat-syarat tertentu yang diajukan Damien belum dapat dipenuhi pihak rumah produksi yang berminat itu. "Syaratnya, saya minta pihak rumah produksi menyiapkan DVD gratis bagi 15.000 sekolah untuk tiga film," kata Damien kepada Sandika Prihatnala dari Gatra.
Damien mengaku sebisa mungkin menegakkan aspek sosial dalam proyek trilogi biopic-nya itu. Karena itu, ia mengaku tidak merancang strategi pemasaran khusus untuk menyiasati "persaingan"-nya dengan biopic Ahmad Dahlan yang dibuat Hanung.
Jika biopic Si Anak Kampung masih dalam penggarapan, tidak demikian dengan Obama Anak Menteng. Proses syuting film ini sudah rampung. Jadwal pemutaran perdananya sempat terombang-ambing seiring dengan perubahan jadwal kunjungan Presiden Barack Obama ke Indonesia. "Tapi kami sudah memutuskan, premiere film ini 30 Juni besok," ujar Damien.
Film yang berkisah tentang tahun-tahun Obama menjalani kehidupannya di Jakarta itu diangkat dari novel karangan Damien sendiri yang juga berjudul Obama Anak Menteng. Kisah masa kecil Obama itu direkonstruksi melalui narasumber sekunder serta potongan cerita kawan-kawan Obama ketika tinggal dan bersekolah di Menteng.
Sebagai catatan, riset data dan informasi untuk pembuatan novel Obama Anak Menteng hanya dilakukan satu bulan. Setelah bahan terkumpul, Damien hanya membutuhkan waktu empat hari untuk menuliskannya menjadi novel. Setelah novel itu diterbitkan, pihak MVP lantas memberi tawaran untuk mengangkatnya ke layar lebar. Dari situ, lahirlah proyek biopic Obama yang skenarionya juga ditulis Damien dalam waktu singkat.
Sementara itu, Hanung memulai riset lapangan pada pertengahan Maret lalu. Skenarionya ia corat-coret sejak setahun lalu dan mengalami beberapa kali pengembangan. Untuk Sang Pencerah yang memaparkan kisah kehidupan Ahmad Dahlan dari kecil hingga mendirikan Muhammadiyah, Hanung menggali cerita dari narasumber keluarga Ahmad Dahlan.
Rujukan lainnya adalah buku Prof. Abdul Munir Mulkan tentang Muhammadiyah. Bahkan, menurut Hanung, ia bersama tim risetnya secara intensif berdiskusi dengan guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, itu.'
Selain itu, ada sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Adaby Darban, penulis buku sejarah Kauman dan berdirinya Muhammadiyah di Kauman. "Saya juga menggunakan buku KH Muhammad Sudja (murid Ahmad Dahlan) tentang Ahmad Dahlan sebagai bahan riset cerita," kata Hanung.
Terlepas dari plus-minus kualitas film-film biografi itu nanti, upaya memproduksi biopic di tengah pasar yang terbentuk oleh tema-tema horor dan komedi seks itu bukanlah keputusan yang mudah. Keberanian itu layak mendapat apresiasi.
Namun Garin Nugroho meragukan kemapanannya, meski keberanian itu kelak membuahkan tren produksi biopic di kancah perfilman dalam negeri. "Kita kan melodramatis dan musiman. Musim duren, ya, jual duren. Musim rambutan, ya, jual rambutan," kata Garin menamsilkan.
Itulah bagian set dan kesibukan kru syuting hari ketiga produksi film biografi pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, pertengahan bulan lalu. Film yang mengambil judul Sang Pencerah itu digarap sutradara peraih Piala Citra, Hanung Bramantyo, di Yogyakarta. Rencananya, syuting berlangsung 35 hari di Kauman dan Kotagede (Yogyakarta), juga di Ambarawa, Bogor, dan Jakarta.
Membuat film biografi Ahmad Dahlan adalah pilihan personal Hanung. "Ini keinginan saya sendiri. Lalu saya tawarkan kepada rumah produksi," kata Hanung, yang juga berperan sebagai penulis skenario film ini. Gayung bersambut, Multivision Picture (MVP) menyatakan bersedia memproduksi film tersebut.
Produksi film ini menghabiskan ongkos sekitar Rp 24 milyar. Sebagian besar, menurut Hanung, dialokasikan untuk membangun set era KH Ahmad Dahlan. Wilayah Kauman, misalnya, dipilih agar seotentik mungkin dengan setting kisah asli. Beberapa arsitektur bangunan hingga interior rumah diambil sebagai bagian penting setting film ini. "Di Kauman untuk bagian Ahmad Dahlan kecil sampai menikah," tutur Hanung.
Namun, "Saya nggak yakin, apa bangunan yang saya pakai (di film) adalah bangunan pada waktu itu. Sudah 100 tahun pasti renovasi berkali-kali," katanya sembari melanjutkan, "Kita tidak punya studio seperti Hollywood. Sehingga untuk bikin bangunan dan set bisa mencapai dua-tiga kali (lipat) dari bujet yang telah ditetapkan."
Meski tidak sempat jadi tren, film biografi atau biographical picture (biopic) selalu terselip di masa-masa produksi film Indonesia mulai ramai. Misalnya ada film Kartini (1984, Syumanjaja) dan Tjoet Nya' Dhien (1988, Eros Djarot), Marsinah (2001, Slamet Rahardjo), Gie (2005, Riri Riza), serta beberapa lainnya.
Pada tahun ini, produksi biopic kembali menggeliat. Selain Hanung yang tengah menggarap film tentang KH Ahmad Dahlan, ada Damien Dematra yang telah merampungkan produksi film Obama Anak Menteng. Damien juga sedang menggarap trilogi biopic Ahmad Syafii Maarif, Si Anak Kampoeng.
Tahun ini juga, Mira Lesmana berancang-ancang memproduksi biopic tentang sang ayah, Jack Lesmana. Tidak ketinggalan Garin Nugroho yang tengah memulai riset untuk persiapan produksi biopic Soegijapranata, uskup Katolik pribumi pertama di Indonesia.
Proses riset yang panjang dan tidak adanya studio besar untuk mendirikan dan menghadirkan setting masa lalu menjadi dua di antara sekian banyak penyebab mahalnya ongkos produksi biopic di Indonesia. Setidaknya jika dibandingkan dengan ongkos pembuatan film komedi seks dan horor yang diproduksi secara "borongan".
Garin Nugroho mengatakan, untuk membuat film biografi yang bagus, diperlukan data yang kuat. Tidak hanya bersumber pada data sejarah formal, melainkan juga data informal. "Kalau di luar negeri, misalnya mau bikin film tentang Bavaria abad XIII, saya tinggal datang ke museum, lalu lihat taplak mejanya pada waktu itu seperti apa. Gampang," katanya.
Tradisi pencatatan sejarah informal di Indonesia masih lemah. "Misalnya Pangeran Diponegoro: baju tidurnya seperti apa, sulit kita temukan informasinya," papar Garin. Itu sebabnya, pembesut film bergaya musikal Generasi Biru ini meyakini bahwa tradisi membuat biopic di Indonesia masih langka. "Belum ada film biografi di Indonesia yang menarik," ujarnya.
Garin tidak menyangkal bahwa beberapa biopic yang pernah dibuat sutradara Indonesia berusaha mengemukakan visi ketokohan dan sejarah. Tapi, untuk memilih tokoh, potensi visioner itu masih sangat dipengaruhi pertimbangan pasar. "Kalau temanya agama, biasanya laku," kata Garin.
Hanung mengelak untuk memaparkan bentuk kerja sama "komersial"-nya dengan Muhammadiyah dalam mengemas biopic Ahmad Dahlan. Namun ia tidak menolak kenyataan bahwa puluhan juta warga ormas berlambang matahari itu adalah aset penonton potensial. "Publikasi yang bagus adalah dengan dukungan Muhammadiyah," katanya.
Dukungan itu tampak pada pernyataan Din Syamsuddin ketika kru bertandang ke markas Muhammadiyah di Yogyakarta, pertengahan Mei lalu. Dalam kesempatan itu, Din berharap, film itu bisa ikut membawa perubahan bagi umat Islam. Selain itu, Sang Pencerah rencananya premiere pada awal Juli nanti, bersamaan dengan berlangsungnya muktamar ke-46 dan peringatan satu abad Muhammadiyah. Untuk umum, film itu dipersiapkan untuk dirilis pada liburan Idul Fitri tahun ini.
Demikian pula dengan Damien Dematra. Proyek biopic berjudul Si Anak Kampung sengaja dirancang untuk memperingati 100 tahun Muhammadiyah. Namun, pada mutakmar ke-46 nanti, ia baru bisa memutar trailer trilogi tentang Buya Syafii Maarif. Karena berbagai kendala, proses pengerjaan film yang ia produksi sendiri itu baru mencapai 10%.
Menurut Damien, beberapa rumah produksi telah menyatakan ketertarikannya untuk mengambil alih produksi trilogi biopic Ahmad Syafii Maarif yang sedang ia garap. Namun proses kerja samanya belum terlaksana lantaran ada syarat-syarat tertentu yang diajukan Damien belum dapat dipenuhi pihak rumah produksi yang berminat itu. "Syaratnya, saya minta pihak rumah produksi menyiapkan DVD gratis bagi 15.000 sekolah untuk tiga film," kata Damien kepada Sandika Prihatnala dari Gatra.
Damien mengaku sebisa mungkin menegakkan aspek sosial dalam proyek trilogi biopic-nya itu. Karena itu, ia mengaku tidak merancang strategi pemasaran khusus untuk menyiasati "persaingan"-nya dengan biopic Ahmad Dahlan yang dibuat Hanung.
Jika biopic Si Anak Kampung masih dalam penggarapan, tidak demikian dengan Obama Anak Menteng. Proses syuting film ini sudah rampung. Jadwal pemutaran perdananya sempat terombang-ambing seiring dengan perubahan jadwal kunjungan Presiden Barack Obama ke Indonesia. "Tapi kami sudah memutuskan, premiere film ini 30 Juni besok," ujar Damien.
Film yang berkisah tentang tahun-tahun Obama menjalani kehidupannya di Jakarta itu diangkat dari novel karangan Damien sendiri yang juga berjudul Obama Anak Menteng. Kisah masa kecil Obama itu direkonstruksi melalui narasumber sekunder serta potongan cerita kawan-kawan Obama ketika tinggal dan bersekolah di Menteng.
Sebagai catatan, riset data dan informasi untuk pembuatan novel Obama Anak Menteng hanya dilakukan satu bulan. Setelah bahan terkumpul, Damien hanya membutuhkan waktu empat hari untuk menuliskannya menjadi novel. Setelah novel itu diterbitkan, pihak MVP lantas memberi tawaran untuk mengangkatnya ke layar lebar. Dari situ, lahirlah proyek biopic Obama yang skenarionya juga ditulis Damien dalam waktu singkat.
Sementara itu, Hanung memulai riset lapangan pada pertengahan Maret lalu. Skenarionya ia corat-coret sejak setahun lalu dan mengalami beberapa kali pengembangan. Untuk Sang Pencerah yang memaparkan kisah kehidupan Ahmad Dahlan dari kecil hingga mendirikan Muhammadiyah, Hanung menggali cerita dari narasumber keluarga Ahmad Dahlan.
Rujukan lainnya adalah buku Prof. Abdul Munir Mulkan tentang Muhammadiyah. Bahkan, menurut Hanung, ia bersama tim risetnya secara intensif berdiskusi dengan guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, itu.'
Selain itu, ada sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Adaby Darban, penulis buku sejarah Kauman dan berdirinya Muhammadiyah di Kauman. "Saya juga menggunakan buku KH Muhammad Sudja (murid Ahmad Dahlan) tentang Ahmad Dahlan sebagai bahan riset cerita," kata Hanung.
Terlepas dari plus-minus kualitas film-film biografi itu nanti, upaya memproduksi biopic di tengah pasar yang terbentuk oleh tema-tema horor dan komedi seks itu bukanlah keputusan yang mudah. Keberanian itu layak mendapat apresiasi.
Namun Garin Nugroho meragukan kemapanannya, meski keberanian itu kelak membuahkan tren produksi biopic di kancah perfilman dalam negeri. "Kita kan melodramatis dan musiman. Musim duren, ya, jual duren. Musim rambutan, ya, jual rambutan," kata Garin menamsilkan.
Sumber : Gatra.com
Currently have 0 komentar: